Kalo yang udah follow-followan sama gw di instagram (@mpok_etty, ehmm #terkode) pasti bisa menangkap kesensian gw terhadap buku tabungan akhir-akhir ini deh.
Sebenernya bukan cuma akhir-akhir ini sih, buku tabungan adalah benda yang gw miliki sejak lama tapi paling males gw liat apalagi dibingkai 😀
Kenapa sensi amat?
Karena gw mah orangnya jarang nabung (kecuali di WC) dan menatap buku tabungan bikin gw merasa bersalah. Rasa bersalahnya tuh persis kayak ketemu mantan yang pernah kita selingkuhin zaman dahulu kala terus kita putusin pake alesan butuh ruang (bahh, butuh uang mungkin sedangkan butuh ruang adalah hil yang mustahal).
Tapi tenang gw gak akan berpanjang lebar menceritakan proses perselingkuhan gw terhadap mantan-mantan pacar gw disini, gak bagus buat kesehatan karena mengandung kolesterol dan asam urat.
Yang mau gw ceritakan justru sebuah cerita tentang pemuda berusaha 24 tahun (tidak tampan) dan kehebatannya dalam menabung (yang bukan cuma di WC).
Sebut saja namanya Shaheer (bukan nama sebenarnya), dia ini anak angkat tetangga gw yaitu Bapak dan Ibu Wijaya (tentu saja bukan nama sebenarnya). Pernikahan Bapak Wijaya dengan ibu Wijaya adalah pernikahan ke-tiganya, sebelumnya Pak Wijaya sudah pernah menikah dan memiliki dua orang anak.
Shaheer dibesarkan dengan kasih sayang penuh Bu Wijaya yang ternyata tidak bisa memiliki anak kandung karena suatu hal. Pak Wijaya sendiri bukanlah sosok ayah yang bisa dibanggakan.
Hobby nya adalah mabuk-mabukan dan berjudi. Kombinasi yang mematikan. Efeknya sama buruknya dengan kombinasi Tanggal Tua ditambah Kondangan.
Dengan hobby yang demikian sulit buat Pak Wijaya disayangi anak-anak kandungnya, tapi sebagai tetangga sejak puluhan tahun lalu gw bisa melihat bahwa Shaheer cukup sabar menghadapi bapak angkatnya ini.
Tahun lalu Pak Wijaya berpulang ke Rahmatullah setelah sakit dan lumpuh berbulan-bulan lamanya. Frekwensi anak kandungnya menjenguk dia ketika sakit bisa dihitung pake tangan sebelah. Semua biaya perawatan pak Wijaya ditanggung oleh istrinya dan Shaheer.
Seminggu setelah pemakaman pak Wijaya, sesuai kebiasaan maka dilakukan pembahasan harta warisan dan ina-inu perintilan lainnya yang cukup ribet.
Tentu saja Shaheer sebagai anak angkat tidak dapat bagian sedikitpun dari harta yang diwariskan. Diputuskan rumah yang ditempati Shaheer dan bu Wijaya dibagi tiga, yaitu kepada : Bu Wijaya dan kedua anak tirinya.
Tidak ada yang berkeberatan atas keputusan ini, Shaheer cukup tau diri atas posisinya sebagai anak angkat. Yang menjadi masalah adalah, bulan berikutnya kedua anak kandung almarhum Pak Wijaya secara kompak menyatakan keinginannya menjual bagian warisan mereka.
Bagai disambar petir disiang bolong, bu Wijaya yang sehari-hari menjual nasi uduk, lontong dan gemblong sebagai mata pencaharian jelas kaget dan lemas.
Rumah itu cukup luas memang, sekitar 120m2, tapi kalau bagian anak-anak tirinya dijual itu artinya dia pun harus menjual bagiannya.
Bu Wijaya cuma bisa menangis karena sedih memikirkan akan kehilangan rumah kenangannya, harta satu-satunya. Tapi kalau dia tak mau ikut menjual bagiannya berarti dia harus membeli bagian warisan anak-anak tirinya.
Uang dari mana?
Shaheer sehari-hari hanyalah seorang Office Boy, gajinya bahkan jauh dibawah UMR. Untuk menambah penghasilan sepulang bekerja Shaheer menjadi tukang ojek.
Darimana mereka bisa punya uang puluhan juta untuk membeli rumah itu? Begitu mungkin yang jadi pikiran bu Wijaya.
Tapi ketika akhirnya dia menceritakan hal ini kepada anaknya, respon anaknya cuma satu ” Ayo Bu kita ambil uang kita ke Bank”
Diajaknya ibunya yang sudah mulai tua itu memasuki sebuah gedung kantor cabang sebuah Bank. Dan ketika mereka keluar dari gedung itu dengan uang puluhan juta ditangan bukan main lemas dengkul bu Wijaya.
Bukan cuma karena kaget tapi juga takut. Dia takut Shaheer anak kesayangannya diam-diam jadi bandar narkoba atau sejenisnya. Dimata ibunya tak mungkin anaknya yang gajinya cuma sekecil itu bisa punya tabungan ratusan juta rupiah di Bank.
Sepulang dari bank, pelan-pelan Shaheer bercerita bahwa sejak mulai bekerja lima tahun lalu dia rutin menyisihkan penghasilannya untuk ditabungkan. Uang hasil mengojek pun ditabungkan seluruhnya.
Hasilnya bisa mereka nikmati hari ini, sekarang rumah itu menjadi milik mereka seutuhnya. Ibunya bisa tenang menjalani masa tua sambil terus berdo’a agar Shaheer bisa mendapat jodoh yang baik. Yang bisa menyayangi tidak hanya dirinya tapi juga bu Wijaya.
Mendengar sendiri cerita ini dari mulut Bu Wijaya tentunya bukan cuma membuat gw terharu tapi juga malu. Kok ya gw sebagai orang dengan penghasilan berkali lipat dari Shaheer gak punya tabungan sebanyak itu ya?!?